Father
Setelah
hampir empat jam diperjalanan, akhirnya rasa lelah dan letihku terbayarkan
dengan pemandangan yang indah. Hamparan perkebunan dengan background bukit-bukit dan gunung ditambah udara yang sejuk menerpa
wajahku melalui sela kaca helm, membuat aku mengurangi kecepatan motorku. Dari
jarak lima puluh meter, aku bisa melihat ada sebatang pohon. Keberadaan pohon
itu memperindah pemandangan disini, atau lebih kepada mengingatkan diriku pada
diri sendiri. Sebatang pohon. Aku tidak bisa menolak hasrat untuk berhenti di
dekat pohon itu.
Tidak
lebih dari sepuluh menit berdiri di bawah pohon sambil memandang luas ke arah
perkebunan, sungai, gunung dan bukit-bukit yang sekarang sudah di bangun
beberapa rumah warga, sudah cukup
mengembalikan seluruh kenanganku disini. Bahagia, haru dan sedih membaur jadi
satu melukiskan senyum hambar di wajahku. Aku kembali melanjutkan perjalanan
yang tak sampai lima kilometer sudah tiba percis di depan rumah ibuku.
Bangunan
rumah ibuku yang berbentuk persegi panjang terlihat semakin tua, memberi kesan
suram dan tak terawat. Seperti biasa setiap aku pulang, aku tidak pernah masuk
lewat depan. Tempat dimana ibuku pasti ada karena dia menjaga warung dan rental
PS-nya disana. Dengan sangat cepat aku akan menyelinap masuk ke bengkel abangku
yang menembuskan jalan kerumah ibu lewat pintu belakangnya. Entah kenapa aku
selalu merasa gak nyaman dengan kerumunan beberapa tukang ojek atau beberapa
tetangga yang biasa pada duduk sambil ngobrol, padahal mereka bagian yang tak
terpisahkan dari masa laluku. Ada rasa rendah diri dalam hatiku karena sejauh
ini aku belum bisa membuat ibuku bangga. Bukan, aku belum bisa membuat mereka -tetanga-tetanggaku
bangga padaku. Belum ada perubahan yang signifikan dengan keadaanku, berbeda
dengan beberapa anak tetangga yang lain yang katanya sukses, sementara akumah
apa atuh. Aku tau, mungkin sikapku yang seperti ini memberikan kesan sombong
buat mereka. Terserahlah. Aku tidak peduli sebagaimana mereka tidak peduli
ketika membandingkan aku dengan anak tetangga yang lain yang jauh lebih beruntung
hidupnya daripada aku.
Selalu.
Aku pulang dengan cara menyelinap lewat pintu belakang. Sebelum aku menemui
ibuku, aku akan tiba di ruangan yang gelap tanpa penerangan dan tanpa jendela.
Sebetulnya ruangan ini akan sangat terang jika saja tak ada lemari yang
membatasinya dengan ruang tamu. Dan disinilah moment yang selalu aku tunggu,
ibuku tidak pernah menyadari kedatanganku. Suara berisik dari anak-anak yang
main PS membuat langkah kakiku tidak dapat didengarnya. Dan seperti biasa, ibu
duduk di pintu yang menghubungkan ruangan ini dengan warung. Badannya menghadap
ke arah warung. Aku berdiri tepat di belakangnya. Dari jarak dua meter aku
memperhatikannya, melihat punggungnya yang sedikit membungkuk dan sepertinya
ibu jauh lebih kurus dari waktu sebelumnya aku datang sekitar empat bulan yang
lalu. Moment ini yang aku tunggu, aku
memeluknya dari belakang, mencium pipinya dan bilang padanya betapa aku sangat
sayang padanya dan aku ingin hidup hanya untuk membahagiakannya. Moment yang hanya ada dalam pikiranku
dan tidak pernah sanggup untuk aku realisasikan. Karena nyatanya bertahun-tahun
aku hidup untuk kebahagiaan diriku sendiri dan meninggalkannya jauh sendirian
di sini. Biasanya moment ini hanya
bertahan beberapa detik, karena ibuku akan segera berbalik merasa ada yang
memperhatikannya. Ada senyum lebar di wajah ibuku. Dan dia segera berdiri
memelukku. Setelah itu dia akan segera sibuk memaksaku makan masakannya dan
menghujaniku dengan banyak pertanyaan tentang kesehatanku, pekerjaanku,
sahabat-sahabatku dan seperti biasa di akhiri dengan pertanyaan yang tak pernah
berhasil aku jawab. Kapan aku akan menikah? Akupun tidak tau bu...
Udara
panas di kota rantauanku membuat aku tidak terbiasa dengan udara disini yang
dinginnya seakan sampai ke tulang. Aku menggigil. Aku putuskan untuk menyeduh
kopi. Ibuku sedang sibuk menghitung uang tidak seberapa tapi cukup banyak untuk
di syukuri. Uang hasil warung dan rental PS nya hari ini. Aku teringat ayah,
biasanya ayahlah yang selalu menghitung hasil warung dan rental PS, terus
mengajarkan ibuku bagaimana mengelola hasil tersebut untuk di sisihkan sebagai
dana cadangan kerusakan PS, sebagai modal yang harus di putar kembali dalam
usaha warung dan tentunya sebagian jadi keuntungan untuk di simpan. Seperti tau
isi pikiranku, ibu mengatakan hal yang sama dengan yang aku pikirkan dan aku
hanya bisa menanggapinya dengan senyum. Karena aku tau apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Selalu.
Matanya berbinar setiap kali ibu bercerita tentang hebatnya ayah dalam hal
mengatur keuangan. Dan mulailah dia bercerita tanpa lelah tentang
kelebihan-kelebihan ayah yang tak pernah ada habisnya menurut dia. Mungkin
kalau aja sahabat-sahabtku di kota rantauanku ada bersama kami sekarang pasti
mereka akan bertanya apakah ibuku habis makan indomie, certia mulu. Aku tersenyum geli membayangkan sahabat-sahabatku
itu. Ibu masih bercerita dan sepertinya dia tidak pernah sadar kalau ceritanya
selalu sama, cerita tentang ayah yang memang tidak akan pernah ada cerita baru
tentang ayah. Hampir di setiap aku pulang untuk melepas kangen padanya, selalu
cerita yang sama. Mengulangnya seakan dia tidak pernah mencertiakan cerita itu
sebelumnya kepadaku. Awalnya aku selalu menyela dengan mengatakan bahwa ibu
sudah menceritakannya, tapi kali ini tidak. Aku membiarkan ibu terus bercerita
sekalipun aku sudah tau cerita itu. Bahkan kali ini aku mendukungnya dengan
tidak memberi komentar buruk tentang ayah. Dan saat itu aku sadar, jika ada
yang paling merasa kehilangan setelah ayah meninggal maka ibu lah orangnya.
Betapa ibuku menyayangi ayah. Sebagai istri kedua, ibu selalu setia mendampingi
dan merawat ayah yang sakit-sakitan tanpa mengeluh. Bahkan untuk ayah, ibuku
bisa kuat bertahun-tahun hidup tanpa ada hiburan atau jalan-jalan. Hari-harinya
selalu di habiskan untuk menjaga warung dan rental PS. Sebelum timbul pikiran
negatif di otakku tentang ayah yang seakan memenjarakan ibuku dalam rutinitasnya
jaga warung dan rental PS, aku berinisiatif untuk menggoda ibu dengan bertanya
padanya. Apakah ibu sangat cinta dan sayang ayah. Dengan cepat ibuku menjawab, “Bukan
soal cinta atau sayang ini hanya semata ibadah karena Allah”.
Sejenak
ibu melihat tumpukan dus-dus susu yang sudah kosong tapi tetap dia tata rapi di
dalam etalase. Aku tidak pernah bertanya kenapa tidak membuang dus-dus kosong
itu, karena aku tau alasannya. Kenangan ibu bersama ayah.
Ibuku
mulai bercerita lagi, tapi kali ini matanya tidak berbinar. Dan itu cukup
menjelaskan bahwa yang akan di certikannya pasti bukan hal yang menyenangkan.
Ibu mulai bercerita tentang betapa luar biasanya Allah yang maha mencukupkan.
Dan inilah intinya. Ibuku mengawali kalimatnya dengan merasa heran karena
obat-obatan ayah, susu ayah, snack
keju kesukaan ayah bahkan buah korma yang biasa ayah stock sebagai cemilannya bisa cukup atau lebih tepatnya pas sampai
pada hari terakhir ayah. Tidak ada yang terbuang sama sekali. Saat itu aku
melihat perasaan yang perih dari ekspresi wajahnya. Ibu mengingat dan bercerita
saat warung dan rental PS nya sepi, bahkan tak satupun yang belanja ke warung
ataupun yang main PS. Dan itu artinya ibu tidak dapat uang, ayah tidak dapat
membeli apapun yang jadi kebutuhannya sekalipun itu obat-obatan yang biasa di
stocknya. Seketika akupun merasa perih, tenggorokanku sakit menahan luapan
emosi kesedihan dan mungkin menahan agar aku tidak menangis. Untunglah ada kopi
yang kini memberi fungsi lain selain menghangatkan tubuhku, juga bisa menyeka
desakan di tenggorokannku yang sakit.
“Mungkin
Allah sudah mencabut nikmat dan rezeki ayah, karena tidak lama lagi ayah harus
kembali kepada-Nya”. Kalimat terakhir ibu, mengurangi sedikit rasa sakit di
tenggorokanku, tapi tidak kesedihanku.
“Kenapa
tidak bilang bu? Mungkin aku belum berlebih dan tak pantas di banggakan seperti
anak tetangga-tetangga ibu yang sudah sukses yang berhasil merenovasi rumah
orang tuanya, berhasil membelikan mobil untuk orang tuanya, tapi kalo hanya
untuk beli obat dan susu ayah aku masih mampu”. Kataku dalam hati. Pertahananku
menahan tangis hampir roboh. Kali ini ibu bercerita hal baru, ayah tidak pernah
mau jadi beban anak-anaknya, bahkan setiap hari ayah memikirkan anak-anaknya
yang belum mapan. Memikirkan bagaimana mereka kalo ayah sudah tidak ada. Dan
aku tau, pikiran-pikiran itu yang membuat ayah semakin sakit.
Terlintas
ingatan di benaku, ketika dulu aku pulang untuk sekedar melepas kangen. Ayah
mendesakku dengan pertanyaan kapan aku wisuda? Sudah lulus hampir setahun tapi
tidak wisuda. Ayah sangat ingin melihat kampusku. Akhirnya aku cerita tentang
kondisiku yang menjadi alasan kenapa aku belum juga wisuda. Ayah mengetahui
hutang-hutangku. Saat itu aku melihat ekspresi kecewa di wajahnya dan ayah
memintaku untuk tidak lagi membayarkan iuran kartu kesehatannya, ayah juga
melarang ibuku minta uang lagi kepadaku. Saati itu aku marah, merasa apa yang
aku lakukan tidak dihargainya. Aku memang belum mampu melakukan hal-hal besar
untuk ayah dan ibu, tapi setidaknya aku ingin melakukan sesuatu untuk mereka.
Walaupun mungkin itu hanya hal kecil dan tidak seberapa.
Setelah
kejadian itu aku tidak banyak bicara sama ayah dan cenderung menghindarinya
sampai aku putuskan untuk kembali ke kota rantauanku lebih cepat dari jadwal
liburku. Beberapa hari setelah kejadian itu, di sela kesibukan pekerjaanku ayah
menelpon. Ayah minta tolong agar aku membayarkan iuran kartu kesehatannya. Aku
tidak berkomentar banyak juga tidak menolaknya. Segera hari itu juga aku
membayarkan iuran kartu kesehatannya. Dan seperti biasa setiap bulan aku akan
membayarkannya. Tapi jujur aku menertawakan ayah, yang dengan sikap tegasnya
menyuruh aku berhenti melakukan sesuatu untuknya sekalipun hal kecil yaitu
membayarkan iuran kartu kesehatannya tapi beberapa hari kemudian memintaku
untuk membayarkannya kembali. Seharusnya aku tidak menertawakannya, seharusnya
aku mengerti kondisinya. Ayahku sedang kesulitan, seharusnya aku membantunya
bukan menertawakannya. Penyesalan ini tidak akan termaafkan, tidak untuk diriku
sendiri. Karena sekarang sudah terlambat untuk menyesal. Sebelum air mataku
keluar dan pastinya akan semakin membuat perasaan ibu perih dan sedih, aku
putuskan untuk pura-pura ngantuk dan pergi kekamar. Aku tidak mengerti
bagaimana kemarahan, kekecewaan dan kepedihan yang biasanya jadi gambaran
untukku menilai ayah selama hidupnya. Kini jadi kesedihan dan penyesalan yang
rasanya tak termaafkan dan takan berakhir setelah ayah tiada. Isakan pilu
dibalik bantal takan pernah bisa menghilangkan rasa sesal ini, aku akan mati
dalam penyesalan. Hampir tiga dekade dari hidupku aku habiskan dengan membencinya
dan kini aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan menyesalinya. Aku meraung
menahan sakit hatiku, bayangan demi bayangan menggambarkan banyak kenangan
dengan ayah. Kenangan buruk hilang dalam kesedihan dan kenangan indah seakan
sia-sia di telan penyesalan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, lirih ku
katakan “Aku kangen ayah”.
“AKU
KANGEN AYAH” oleh Joy
Comments
Post a Comment